Kesucian Syarat Utama Diterimanya Shalat

Shalat adalah menghadirkan diri di ‘hadapan’ Allah. Bersuci dan berada dalam keadaan suci merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan sebelum melaksanakan ibadah shalat. Orang yang bijaksana mengetahui bahwa kebersihan secara zahir saja tidak cukup. Allah melihat jauh ke dalam hati (jiwa atau ruh) manusia. Dan hati perlu disucikan.

 Penyuciannya ialah dengan cara bertaubat. Hanya dalam keadaan suci, shalat yang kita lakukan akan diterima Allah.

Hukum ini adalah simbol yang digunakan oleh ahli tasawuf atau orang-orang Sufi. Apabila shalat itu dilakukan dengan hanya memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki, maka dari segi hukum zahir, shalat itu sah dan benar.

Tetapi dari segi hukum batin, shalat yang dilakukan itu masih menimbulkan tanda tanya lagi. Adakah shalat yang tidak disertai dengan kekhusyukan dan merendahkan diri dapat diterima sebagai ‘shalat’ ? Shalat yang dipenuhi dengan ingatan tentang sesuatu di luar shalat, misalnya khayalan yang mengganggu dan pikiran-pikiran tentang keduniaan, apakah itu bisa disebut shalat ?

Padahal Nabi SAW mengingatkan bahwa dalam shalat kita harus khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, menenangkan pikiran, memfokuskan tujuan, dan sebagainya. Karena itu pula, ada sebagian ulama yang bersikap keras terhadap masalah ini dengan menghukumkan bahwa semua shalat yang tidak disertai kesadaran semua gerakan fisikal, tidak dapat dinamakan ‘shalat’.

Dan bila tidak dinamakan shalat, maka shalat tidak dapat disebut sebagai shalat yang sesungguhnya.
Semua ini muncul dari banyaknya dosa dalam diri orang itu, banyaknya kesalahan yang tidak dipedulikannya, yakni dosa belum dihapus dan dibersihkan dengan cara bertaubat.

Karena itu, dirinya kotor, dan bila diumpamakan ia seperti seseorang yang menghadap raja dengan pakaian kotor. Bagaimanakah orang itu nanti ?

Ingatlah, bahwa hal ini amatlah penting, yang tidak boleh dilalaikan secara terus-menerus. Segeralah kembali kepada Allah dan menyucikan diri dengan memperbanyak taubat yang sebenar-benarnya.
Allah berfirman :

 “Dan bertaubatlah (kembalilah) kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman sekalian, mudah-mudahan kamu akan beruntung !” (Q.S. An-Nur: 31)

Allah juga berfirman :

 “Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu bagi setiap hamba yang selalu kembali bertaubat (bertaubat sebenarnya kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturannya)”.(Q.S. Qaaf : 32)

Penyucian badan dengan berwudhu dan mandi adalah perintah menurut syariat dan hukum agama Islam. Penyucian itu berkaitan dengan waktu. Misalnya, orang yang sudah bersuci, tetapi tiba-tiba ia tertidur, maka batallah wudhunya. Karena itu, ia harus berwudhu kembali. Jelasnya, pembersihan zahir ini terikat oleh waktu, malam dan siang, dalam kehidupan di dunia yang nyata ini.

Contoh yang lain, orang yang merasakan badannya kotor atau pakaiannya terkena kotoran, maka wajarlah bila dia segera membersihkan badan dan pakaiannya itu. Dia tidak ingin tampak kotor di antara teman-temannya ataupun di antara orang-orang yang duduk bersama-samanya. Kemudian dia segera menyucikan diri.

Tetapi penyucian batin atau ruhani tidak terikat oleh waktu. Penyucian ini berlangsung sepanjang hidup di dunia hingga akhirat. Bila selama ini manusia merasakan betapa beratnya membersihkan badan dan pakaian mereka, pembersihan diri secara ruhani justru lebih berat lagi, karena kotoran batin lebih berbahaya daripada kotoran lahir. Kotoran lahir lebih bertumpu pada keadaan fisik atau jasmani manusia, sedangkan kotoran batin terfokus pada hubungan dengan Tuhan. Jika hati seseorang kotor, maka semua amalannya terhadap Tuhan akan terganggu dan tidak terkawal.

Karena itu, wajar sekali bila dia harus memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ini agar dia selamat di dunia dan akhirat.

Komentar

Postingan Populer