Pintu Istana KERAJAAN ALLAH SWT


Pada umumnya pintu-pintu istana Raja tertutup rapi, tidak sembarang orang dapat memasukinya. Orang yang boleh masuk hanyalah mereka yang sudah dikenal oleh Raja atau orang yang memiliki keperluan penting dengan Raja.

Dan tidak semua orang yang memiliki keperluan penting dengan Raja akan dibukakan pintu oleh Raja. Ia harus membawa keperluan khusus yang sudah diketahui oleh Raja, dan Raja memang ingin mendengar langsung darinya. Itulah yang dilakukan Raja di dunia, yang bila engkau berurusan kepadanya maka engkau berurusan dengan dunia.

Tetapi jika engkau akan berurusan kepada Raja dari segala Raja, niscaya pintu akan selalu terbuka untukmu. Namun, terdapat beberapa syarat untuk bisa memasukinya, yaitu bila engkau telah berpaling dari pintu-pintu lain di dunia ini, dan kini engkau menuju kepada pintu Raja dari segala Raja itu dengan membelakangi semua pintu, selain pintu-Nya.

Kelak akan terbukalah sebuah pintu rahasia dari hatimu, yaitu pintu Sirr yang batin, yang sejak dahulu tertutup, dan saat ini terbuka tanpa upaya darimu.

Kini masuklah engkau dan bersenang-senanglah di dalam taman kebahagiaannya, karena tiada taman yang lebih indah dari taman itu. Taman yang tidak sembarang orang yang dapat memasukinya. Engkau akan menikmati keadaan dan hakikat yang telah engkau cari dengan susah payah.

 Apabila engkau telah mengenal jalan ke sana, engkau tidak akan berbelok ke jalan yang lain. Engkau tidak ingin melupakan jalan itu. Bagaimana mungkin engkau akan melupakannya, sedangkan di dalamnya engkau mengecap segala kenikmatan yang belum pernah engkau kecap.

Orang Mu'min harus membuang semua jalan yang telah diikutinya sebelum bertemu dengan jalan yang penuh kenikmatan itu. Jalan yang dulu dilaluinya adalah jalan palsu,  karena kenikmatannya hanya sementara.

Ia mesti meniti jalan yang mampu membawanya kepada kenikmatan yang hakiki. Ia mesti menghadapkan wajahnya kepada Tuhan yang menciptakan semua kenikmatan itu, yaitu kenikmatan sementara di dunia dan kenikmatan yang hakiki yang ada di sisi-Nya.

Tegasnya, ia mesti menuju ke jalan Allah, jalan setiap orang yang diberikan iman oleh Allah untuk mencari dari mana sumber iman itu datang. Bukankah iman merupakan suatu karunia yang utama, yang khusus diberikan kepada orang yang diutamakan Tuhan ?

 Maka sewajarnyalah ia berusaha keras mencari dan mengenal Tuhan yang telah memberinya iman. Dengan mengenal Tuhan, imannya kelak akan berkembang dan hidup subur, tidak akan digoncang badai dan topan, dan didekati oleh malapetaka serta bencana alam yang akan merusak pohon imannya yang hidup subur itu, karena pohon itu akan dijaga dan dipelihara oleh yang memberinya karena ia telah mengenal siapa pemberinya itu.

Dalam perjalanannya menuju Allah, Tuhan yang mencipta dan memberinya iman itu, ia harus menanggung berbagai ujian untuk membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh ingin mencari dan mengenal-Nya dengan hakikat pengenalan. Orang yang sudah bulat niatnya untuk mencapai sesuatu, tidak boleh mundur karena ada sesuatu yang menghalanginya.

Malah dia mesti bersikap teguh hati dan pantang mematahkan cita-citanya kepada apa yang ditujuinya. Bukankah dia sedang mencari dan menuju ke tempat yang akan memberinya kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki, yang tiada taranya ?

Apakah ia akan mematahkan cita-citanya itu ? Bahkan dia akan terus menuju sehingga dia mencapai hakikat yang dicarinya, walaupun dirintangi seribu satu bencana dan malapetaka.

Karena itu, dia harus menerima dengan rela hati segala apa yang ditakdirkan oleh Allah baginya, serta menyerahkan sepenuhnya kepada takdir-Nya, agar dia diterima oleh Allah dan berhasil menempuh semua ujian-Nya.

Dengan menanggung semua ujian itu barulah dapat dikatakan bahwa dia benar-benar dan sungguh-sungguh ingin berada di sisi Allah. Hanya dengan cara begitu barulah pintu Tuhannya dibukakan untuknya, sesuai dengan bunyi firman Allah :

 “ Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Q.S. At-Thalaaq: 2)

Ujian ini pasti bertujuan untuk melihat siapa yang menyimpan niat yang benar, dan dapat keluar dari ujian itu dengan kemenangan untuk mencapai cita-citanya.

Firman-Nya lagi :

 “Dan Kami coba mereka dengan (ni`mat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).”( Q.S. Al-A’raaf: 168)

Tegasnya, hati anak Adam itu senantiasa mengembara ke jalan yang baik dan ke jalan yang buruk, selalu menempuh jalan yang mulia dan jalan yang hina, jalan kekayaan dan jalan kemiskinan, dan seterusnya, sehingga dia mengakui bahwa semua itu adalah dari Allah, dan ditetapkan oleh Allah.

Dia harus bersyukur atas apa yang ditakdirkan Tuhannya, atas yang baik atau yang buruk, karena Dia lebih tahu apa yang mesti ditakdirkan. Maka apabila yang ditakdirkan itu ‘baik’, dia bersyukur sambil berterima kasih, bahwa dia telah diberikan yang ‘baik’ itu.

Dan jika yang ditakdirkan itu ‘buruk’ dia harus bersyukur juga sambil bersabar, mudah-mudahan dengan takdir yang buruk itu akan muncul berbagai macam kebaikan yang tidak terduga datangnya.

Kemudian dia tidak lupa memohon kepada Allah, agar yang buruk itu diangkat dan digantikan dengan yang baik. Dia harus sering bersabar dalam keadaan ini, karena apa yang dicita-citakannya itu mungkin terlambat datangnya atau mungkin tidak datang sama sekali. Malah seharusnya dia menyakinkan dirinya bahwa semua takdir Tuhan selalu baik, meskipun dia sulit menerimanya.

Begitulah sikap ‘Insan Kamil’, bila dia menginginkan agar pintu Tuhan dibuka untuknya. Dia telah mengakui bersyukur dan bersabar, sambil menerima takdir apa saja yang ditetapkan oleh Allah. Dan kini dia masih menunggu di pintu Tuhan yang mentakdirkan semua itu. Itulah taufik yang utama, yang diberikan kepada orang yang paling istimewa.

Maka apabila pintu Raja dari segala Raja itu dibuka untuknya, di sana dia akan melihat apa yang tidak pernah dilihatnya, dia mendengar apa yang tidak pernah didengarnya, dan mengalami apa yang tidak pernah dialaminya, atau yang tidak pernah terlintas di dalam hatinya.

Semua tindakan baik dan buruk berakhir di sini. Tidak ada lagi yang dikira ‘baik’ dan tidak ada lagi yang dikira ‘buruk’. Tidak ada waktu lagi. Dan kini yang ada hanya waktu untuk bermesra-mesraan dengan Tuhan Penciptanya, duduk bersama-sama dan berbincang-bincang dengan Tuhan yang dirindukannya.

Dia lupa dengan segala macam kenikmatan, karena terlalu asyik dengan Tuhan yang memberi nikmat. Dia tidak ingat lagi kepada segala macam bahaya dan bencana, karena dia sedang sibuk dengan Tuhan yang memberi bahaya dan bencana itu. Dia dekat dengan siapa yang dicarinya.

Hati dan pikirannya kini sedang tertumpu kepada karunia-karunia khusus yang akan diberikan Tuhannya, sehingga jika dia menginginkan sesuatu maka terjadilah apa yang diinginkannya itu dengan sendirinya, wallahu-a’lam.

Komentar

Postingan Populer